
- Bacaan 1 : Yosua 5:9-12
- Tanggapan: Mazmur 32
- Bacaan 2 : 2 Korintus 5:16-21 Injil: Lukas 15:1-3, 11b-32
KHOTBAH MINGGU PRA-PASKAH IV
MENERIMA SEBAGAI KAWAN
Saudara yang terkasih, pernahkah bapak ibu saudara mendengar istilah Cut Off ? Cut Off adalah istilah yang sering kali digunakan oleh generasi Z (lahir antara tahun 1997 hingga 2012) untuk menyebutkan tindakan memutuskan hubungan atau komunikasi dengan seseorang secara tiba-tiba dan tanpa penjelasan yang jelas. Hal tersebut sering terjadi di media sosial, di mana seseorang dapat memblokir atau menghapus orang lain dari media sosialnya. Dengan demikian, keduanya tidak lagi terhubung sebagai kawan.
Terdapat beberapa dampak positif cut off bagi kesehatan mental. Pertama, mengurangi stres hingga depresi. Memutuskan hubungan dengan orang yang memberikan pengaruh negatif atau toxic dapat mengurangi stres dan kecemasan. Kedua, meningkatkan kesehatan mental. Menghindari konflik dan drama berkepanjangan dapat meningkatkan kesehatan mental. Ketiga, membuat batasan yang sehat. Cut Off dapat membantu individu menetapkan batasan yang sehat dalam hubungannya dengan orang lain.
Meskipun demikian, Cut Off juga memiliki dampak negatif bagi relasi antar manusia. Pertama, Mengurangi Keterampilan Sosial. Jika seseorang terlalu sering melakukan cut off, maka ia juga mengurangi kemampuan untuk menyelesaikan konflik dan berkomunikasi secara efektif. Kedua, Menimbulkan Perasaan Kesepian. Memutuskan hubungan secara tiba-tiba dengan seseorang atau bahkan banyak orang dapat menyebabkan perasaan kesepian dan terisolasi secara sosial. Ketiga, meningkatkan keinginan untuk bunuh diri. Kesepian yang berkepanjangan karena terlalu banyak melakukan cut off dapat meningkatkan risiko depresi dan bunuh diri, terutama jika individu yang merasa tidak memiliki dukungan sosial. Cukup dilematis ya?
Pada dasarnya manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Manusia memiliki sifat individual dan sosial yang perlu dijaga keseimbangannya. Dalam konteks ini, penting untuk mengingat beberapa hal.
- Keseimbangan Antara Individualitas dan Sosialitas. Individualitas, setiap orang memiliki kebutuhan, keinginan dan kepentingan pribadi yang perlu dihargai dan dipenuhi seperti waktu untuk diri sendiri, pengembangan diri, dan menjaga kesehatan mental diri sendiri. Sosialitas, setiap manusia juga membutuhkan interaksi sosial untuk merasa terhubung dan didukung oleh orang lain. Hubungan dengan orang lain dapat memberikan rasa kebersamaan dan dukungan emosional.
- Menghadapi Orang yang Dianggap “Toxic”. Terdapat beberapa hal yang perlu kita pelajari dan teladani dari Tuhan Yesus terkait responsnya terhadap orang-orang berdosa atau orang yang dianggap “toxic” oleh lingkungannya.
Lukas 15 menggambarkan sebuah suasana hangat ketika Yesus berbicara kepada para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Mereka datang untuk mendengarkan pengajaran-Nya. Namun orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat justru memberikan kritik kepada Yesus karena Ia bergaul dengan orang-orang berdosa. Yesus menanggapi kritik tersebut dengan menceritakan tiga perumpamaan, salah satunya adalah perumpamaan tentang anak yang hilang dalam Lukas 15:11b-32.
Perumpamaan dimulai ketika anak bungsu meminta warisan dari ayahnya. Ia pergi ke negeri yang jauh lalu menghabiskan semua harta miliknya dan berfoya-foya. Setelah menghabiskan seluruh hartanya, terjadilah bencana kelaparan di negeri itu dan si bungsu mulai melarat. Ia bekerja menjaga babi, dan dalam bencana kelaparan tersebut, ia harus makan makanan babi. Ia menyadari salahnya dan memutuskan untuk pulang kepada ayahnya, mengakui salahnya, dan memohon untuk dijadikan salah satu dari antara pekerja upahan milik ayahnya. Ketika si bungsu masih jauh, ayahnya sudah melihat dia dan sang ayah tergerak oleh belas kasihan. Sang ayah berlari-lari mendapatkan anaknya, merangkul, memeluk dan mencium dia. Sang ayah memerintahkan hamba-hambanya untuk membawakan jubah terbaik, cincin, dan sepatu untuk menyambut anaknya. Tidak hanya itu, sang ayah juga menyembelih anak lembu yang tambun untuk merayakan kembalinya anaknya yang selama ini telah hilang.
Perumpamaan tersebut juga menjelaskan bagaimana reaksi anak sulung yang marah dan tidak mau masuk ke dalam rumah karena ia merasa apa yang dilakukan oleh Ayahnya tidak adil. Sang ayah merayakan pulangnya anak durhaka yang telah memboroskan harta miliknya dan berfoya-foya. Kemudian, ayahnya menjelaskan bahwa semua miliknya adalah milik si sulung, tetapi mereka semua harus bersukacita karena adiknya yang telah lama hilang ditemukan, bahkan adik yang selama ini dianggap mati telah hidup dan kembali pulang.
Perumpamaan ini menggambarkan kasih dan pengampunan Allah yang tak terbatas. Seperti ayah yang sayang kepada anak-anaknya, ayah yang menerima kembali anaknya dengan sukacita meskipun anak tersebut telah mengecewakan dirinya. Allah juga menerima orang berdosa yang mau bertobat dan kembali pulang.
Anak bungsu melambangkan orang-orang berdosa yang menyadari seluruh kesalahannya, mau bertobat, dan kembali kepada Allah.
Anak sulung melambangkan orang-orang yang merasa diri mereka paling benar dan sulit menerima bahwa Allah juga mengasihi, mencintai, mengampuni dan menerima orang yang berdosa. Perumpamaan ini juga mengajarkan kita untuk bersukacita atas pertobatan dan pemulihan orang lain.
Mazmur 32 juga menekankan bahwa kebahagiaan sejati datang dari pengampunan dosa dan hubungan yang benar dengan Tuhan. Orang yang diampuni dosanya adalah orang yang berbahagia karena mereka dibebaskan dari beban rasa bersalah, penghukuman yang mengerikan dan mendapatkan perlindungan serta petunjuk dari Tuhan.
Rasul Paulus pun menegaskan dalam 2 Korintus 5:16-21 bahwa dalam Kristus, kita menjadi ciptaan baru dan mengalami pembaharuan total. Melalui Kristus, kita didamaikan dengan Allah, dan kita dipanggil untuk menjadi utusan pendamaian, menyebarkan berita baik tentang kasih dan pengampunan Allah kepada dunia. Sehingga tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak berkawan dan menerima orang berdosa. Jika kita perhatikan kisah berhentinya manna dari Tuhan. Kita akan memahami bahwa Tuhan selalu memberikan pengajaran yang terbaik untuk kebaikan umat-Nya, meskipun terkadang melalui cara yang unik atau peristiwa yang menantang. Di Masa Pra-Paskah keempat ini, kita ditantang untuk meneladan Kristus dengan menerima orang-orang berdosa, orang-orang yang kita anggap berdosa atau kita anggap toxic sebagai kawan. Amin