
Nats diambil dari Ayub 42:1–6 (TB):
1 Maka jawab Ayub kepada TUHAN: 2 “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal. 3 Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui. 4 Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku. 5 Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. 6 Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.”
BERDAULAT DALAM IMAN
Di desa, kita sering merasa hidup ini seperti roda pedati—kadang di atas, kadang di bawah. Ada musim panen yang melimpah, tapi ada juga musim gagal karena hama atau cuaca. Ada hari di mana ternak sehat, tapi ada juga saat penyakit menyerang. Dalam semua itu, kita belajar bahwa tidak semua bisa kita kendalikan. Tapi justru di situ kita diajak untuk beriman, bukan pada kekuatan sendiri, tapi pada Tuhan yang berdaulat atas segalanya. Ayub, seorang yang saleh dan jujur, mengalami penderitaan luar biasa. Tapi di akhir kisahnya, ia berkata, “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” Inilah iman yang berdaulat—iman yang tunduk pada kehendak Tuhan, bukan sekadar berharap pada hasil.
Kadang kita bertanya, “Kenapa Tuhan izinkan kesulitan?” Seperti saat sawah gagal panen padahal pupuk sudah cukup dan kerja keras sudah maksimal. Atau ketika anak sakit padahal sudah dijaga baik-baik. Tapi iman yang berdaulat tidak menuntut jawaban, melainkan berserah. Seperti Ayub yang akhirnya berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Iman yang berdaulat lahir bukan dari teori, tapi dari pengalaman pribadi bersama Tuhan—dalam suka maupun duka.
Contoh nyata bisa kita lihat dari Pak Karto, petani tua di dusun sebelah. Meski ladangnya sering diterpa banjir, ia tetap rajin ke gereja dan bersyukur. Ketika ditanya, ia hanya bilang, “Gusti ngerti. Aku mung nyambut gawe sing tak bisa, sing ngatur Gusti.” Kalimat sederhana itu mengandung kedalaman iman yang luar biasa. Ia tidak menyerah, tapi juga tidak sombong. Ia bekerja keras, tapi tetap percaya bahwa hasilnya ada di tangan Tuhan. Inilah sikap berdaulat dalam iman—bukan pasrah tanpa usaha, tapi usaha yang disertai penyerahan total.
Dalam pelayanan gereja pun, kita sering dihadapkan pada tantangan. Ada program yang tidak jalan, ada konflik antar jemaat, ada kekurangan dana. Tapi kalau kita percaya bahwa Tuhan berdaulat, kita tidak mudah putus asa. Kita tetap melayani, tetap berdoa, tetap berharap. Karena kita tahu, seperti Ayub, bahwa tidak ada rencana Tuhan yang gagal. Bahkan kegagalan pun bisa dipakai Tuhan untuk membentuk kita jadi lebih rendah hati, lebih sabar, lebih mengandalkan Dia.
Iman yang berdaulat juga mengubah cara kita memandang orang lain. Kita tidak lagi merasa lebih rohani karena aktif pelayanan, atau lebih diberkati karena hidup lebih nyaman. Kita belajar melihat bahwa setiap orang punya pergumulan, dan Tuhan bekerja dalam cara yang berbeda-beda. Seperti ladang yang ditanami berbagai jenis tanaman, semuanya punya waktu panen masing-masing. Kita tidak membandingkan, tapi saling mendukung. Karena kita percaya, Tuhan berdaulat atas setiap proses.
Di tengah kehidupan desa yang penuh dinamika, iman yang berdaulat menjadi jangkar yang menstabilkan hati. Saat harga gabah turun, saat pupuk langka, saat anak-anak kesulitan belajar—kita tetap bisa berkata, “Tuhan tahu yang terbaik.” Bukan karena kita tidak peduli, tapi karena kita tahu bahwa Tuhan tidak pernah lepas tangan. Ia tetap bekerja, bahkan di saat kita tidak melihat hasilnya.
Mari kita renungkan: apakah kita sudah hidup dalam iman yang berdaulat? Atau masih sibuk mengatur Tuhan sesuai keinginan kita? Ayub mengajarkan bahwa pengakuan atas kedaulatan Tuhan bukan tanda kekalahan, tapi kemenangan iman. Ketika kita bisa berkata, “Aku mencabut perkataanku dan duduk dalam debu dan abu,” kita sedang menyerahkan kendali kepada Tuhan. Dan di situlah pemulihan dimulai.
Akhirnya, mari kita bangun hidup yang berdaulat dalam iman. Di ladang, di rumah, di gereja, di pasar—biarlah iman itu nyata. Bukan sekadar percaya saat semuanya lancar, tapi tetap teguh saat badai datang. Karena Tuhan kita bukan hanya penghibur, tapi Raja yang berdaulat. Dan dalam tangan-Nya, hidup kita aman, meski dunia tak menentu.