Tuhan telah Urapi Aku

Renungan Harian Agustus - (8)

Nats diambil dari Yesaya 61:1 (TB):

“Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara”

TUHAN TELAH URAPI AKU

Kemerdekaan bukan cuma soal bebas dari penjajahan. Di desa-desa, kita merayakan kemerdekaan dengan lomba tarik tambang, makan kerupuk, jalan santai, dan doa syukur di gereja. Tapi di balik semua itu, ada harapan yang lebih dalam: bahwa hidup kita bisa benar-benar bebas, bukan cuma secara politik, tapi juga secara rohani dan sosial. Ayat dari Yesaya ini bukan cuma nubuat tentang Yesus, tapi juga panggilan buat kita semua—untuk jadi pembawa kabar baik dan pembebasan.

Di desa, banyak orang masih terikat oleh rasa takut, kemiskinan, konflik keluarga, atau tekanan sosial. Ada petani yang merasa gagal karena panen tak sesuai harapan, ada anak muda yang bingung masa depannya karena tak bisa lanjut sekolah, ada ibu-ibu yang terus berjuang menjaga keluarga di tengah keterbatasan. Kemerdekaan yang sejati bukan cuma soal bendera berkibar, tapi soal hati yang dibebaskan dari belenggu yang tak kelihatan.

Yesus datang bukan cuma untuk menyelamatkan jiwa, tapi juga untuk menyentuh hidup nyata. Ia peduli pada orang yang remuk hati, yang merasa tak berharga, yang terkurung dalam penjara batin. Di desa, kita bisa lihat ilustrasi nyata: seorang bapak yang dulunya pemabuk, kini jadi pemimpin doa lingkungan; seorang anak muda yang dulunya malas, kini jadi penggerak karang taruna. Itu semua karena kemerdekaan yang Yesus berikan—yang mengubah dari dalam.

Kemerdekaan dalam Kristus bukan berarti hidup tanpa aturan, tapi hidup dalam kasih. Kita bebas bukan untuk berbuat semaunya, tapi untuk melayani. Di tengah peringatan 17 Agustus, mari kita renungkan: apakah kita sudah benar-benar merdeka? Atau masih terikat oleh iri hati, dendam, atau rasa minder? Merdeka berarti kita berani melangkah, berani mengampuni, berani bermimpi, dan berani jadi berkat.

Di desa, kemerdekaan bisa diwujudkan lewat hal-hal sederhana: gotong royong membangun jalan, saling bantu saat panen, mengajak anak-anak sekolah minggu mengenal kasih Tuhan. Kita semua bisa jadi utusan Tuhan seperti Yesaya—membawa kabar baik, merawat yang remuk hati, dan membebaskan yang tertawan. Bukan dengan kekuatan sendiri, tapi dengan kuasa Roh Kudus yang bekerja dalam kita.

Jadi, saat kita kibarkan bendera merah putih, mari kita juga kibarkan semangat kasih dan pengharapan. Mari kita rayakan kemerdekaan bukan cuma dengan sorak-sorai, tapi dengan tindakan nyata yang membebaskan dan menghidupkan. Karena kemerdekaan sejati adalah saat kita hidup dalam kehendak Tuhan dan jadi alat-Nya untuk membebaskan orang lain.