Bersatu dan Berdaulat

Nats diambil dari Kolose 3:14 (TB)
“Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.”
BERSATU DAN BERDAULAT
Setiap bulan Agustus, desa-desa ramai dengan persiapan lomba, upacara, dan kerja bakti. Bendera merah putih berkibar di halaman rumah, anak-anak latihan baris-berbaris, dan ibu-ibu sibuk bikin konsumsi. Tapi di balik semua itu, ada semangat yang lebih dalam: semangat bersatu dan berdaulat. Firman Tuhan dalam Kolose 3:14 mengingatkan, “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.” Artinya, kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tapi hidup dalam kasih yang mempersatukan. Bangsa yang kuat bukan karena senjatanya, tapi karena hatinya saling terikat dalam kasih.
Di desa, kita bisa lihat contoh nyata dari semangat bersatu. Saat ada warga yang sakit, tetangga datang menjenguk, membawa makanan, bahkan membantu biaya. Ketika ada musibah kebakaran, warga gotong royong membangun kembali rumah yang terbakar. Tidak ada yang bertanya, “Ini urusan siapa?” Semua merasa terpanggil. Inilah kasih yang mempersatukan. Kalau bangsa ini mau maju, kita harus mulai dari hal-hal kecil seperti itu—dari dusun, dari RT, dari gereja. Kasih bukan teori, tapi tindakan nyata yang menyatukan hati dan langkah.
Pak Lurah di desa sebelah pernah berkata, “Kemerdekaan itu bukan cuma soal upacara, tapi soal bagaimana kita saling menjaga.” Ia mendorong warga untuk aktif dalam musyawarah, tidak saling curiga, dan mau mendengar pendapat orang lain. Ia tahu, kalau satu warga merasa tersisih, maka persatuan akan retak. Sama seperti tubuh, kalau satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut menderita. Kasih adalah pengikat yang membuat kita tetap utuh, meski berbeda latar belakang, suku, atau pandangan.
Dalam pelayanan gereja, semangat bersatu dan berdaulat juga harus nyata. Kadang kita sibuk dengan program, tapi lupa membangun hubungan. Ada jemaat yang merasa tidak dianggap, ada konflik kecil yang dibiarkan. Padahal, gereja adalah miniatur bangsa. Kalau gereja bisa bersatu dalam kasih, maka desa pun akan merasakan dampaknya. Pelayanan bukan soal siapa yang paling aktif, tapi siapa yang paling rela mengasihi. Kasih menyempurnakan pelayanan, bukan sekadar mempercantik acara.
Kemerdekaan juga berarti berdaulat—punya kendali atas diri sendiri, tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal negatif. Di desa, kita harus berdaulat dalam cara berpikir, dalam cara mendidik anak, dalam cara mengelola hasil bumi. Jangan mudah tergoda oleh janji manis yang merugikan. Jangan biarkan budaya saling menjatuhkan masuk ke dalam komunitas kita. Berdaulat berarti tahu arah, tahu tujuan, dan tahu siapa yang memimpin hidup kita—yaitu Tuhan sendiri. Kalau kita bersatu dalam kasih dan berdaulat dalam iman, maka desa kita akan jadi terang bagi sekelilingnya.
Mari kita renungkan: apakah kita sudah mengenakan kasih sebagai pengikat? Atau kita masih sibuk dengan urusan sendiri? Kemerdekaan bukan soal bebas bicara, tapi soal bertanggung jawab atas kata-kata kita. Bersatu bukan berarti sama, tapi saling melengkapi. Berdaulat bukan berarti keras kepala, tapi tahu kapan harus tunduk pada kebenaran. Bangsa yang besar lahir dari komunitas kecil yang hidup dalam kasih dan kebenaran.
Akhirnya, mari kita rayakan kemerdekaan bukan hanya dengan lomba dan upacara, tapi dengan komitmen untuk hidup saling mengasihi. Jadilah warga yang aktif, bukan hanya hadir saat pesta. Jadilah jemaat yang peduli, bukan hanya duduk di bangku gereja. Kenakanlah kasih, seperti kata Paulus, karena kasih itulah yang mempersatukan dan menyempurnakan. Dan saat kita bersatu dan berdaulat dalam Tuhan, kita sedang membangun bangsa yang kuat, dari desa yang sederhana.