Bersatu dalam Kasih

Renungan Harian Agustus - (1)

Nats diambil dari Filipi 2:1–4 (TB):

“Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”

BERSATU DALAM KASIH

Di tengah kehidupan desa yang penuh kesederhanaan, kita sering melihat bagaimana gotong royong menjadi napas sehari-hari. Saat panen tiba, tetangga saling bantu, tak peduli ladangnya sendiri belum selesai. Ketika ada hajatan, semua ikut urun tenaga, dari masak sampai bersih-bersih. Inilah gambaran nyata dari kasih yang bersatu—bukan sekadar kata, tapi tindakan yang mengalir dari hati yang saling peduli. Firman Tuhan dalam Filipi 2:1–4 mengajak kita untuk hidup dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. Bukan hidup yang saling bersaing, tapi saling mendukung. Bukan hidup yang sibuk cari pujian, tapi rela mengangkat sesama.

Kadang kita tergoda untuk merasa lebih penting dari orang lain. Misalnya, saat rapat desa atau pertemuan gereja, ada yang ingin pendapatnya paling didengar, atau merasa paling berjasa. Tapi kasih yang sejati tidak mencari kepentingan sendiri. Kasih itu seperti ibu-ibu di dapur umum saat Unduh-undhuh: tak ada yang hitung berapa banyak sumbangannya, semua sibuk melayani dengan senyum. Bersatu dalam kasih berarti kita rela menaruh kepentingan orang lain di atas kepentingan kita sendiri. Ini bukan kelemahan, tapi kekuatan yang membuat komunitas kita kokoh.

Ilustrasi lain bisa kita lihat dari kehidupan petani. Saat musim tanam, mereka sering saling tukar bibit atau alat. Bahkan ada yang rela meminjamkan cangkul atau traktor tanpa minta imbalan. Kenapa? Karena mereka tahu, kalau satu gagal panen, semua ikut susah. Kasih yang bersatu itu seperti akar pohon yang saling terhubung di bawah tanah—tak terlihat, tapi menopang satu sama lain. Dalam gereja, dalam keluarga, dalam komunitas, kita dipanggil untuk jadi akar yang saling menguatkan, bukan cabang yang saling menjauh.

Firman Tuhan juga menekankan pentingnya rendah hati. Di desa, kita belajar ini dari para sesepuh yang tak banyak bicara, tapi tindakannya penuh hikmat. Mereka tak memaksakan kehendak, tapi memberi teladan. Rendah hati bukan berarti minder, tapi tahu tempat dan tahu cara menghargai orang lain. Dalam kasih yang bersatu, kita belajar untuk tidak merasa paling benar, tapi mau mendengar dan memahami. Seperti saat musyawarah desa, keputusan terbaik lahir bukan dari suara paling keras, tapi dari hati yang mau bersatu.

Bersatu dalam kasih juga berarti kita tidak membiarkan ada yang tertinggal. Kalau ada tetangga yang sakit, kita jenguk. Kalau ada anak yang kesulitan sekolah, kita bantu. Kasih itu aktif, bukan pasif. Di gereja, kita bisa mulai dengan hal sederhana: menyapa yang jarang hadir, mengajak ngobrol yang kelihatan murung, atau sekadar duduk bersama yang biasanya menyendiri. Jangan biarkan kasih jadi formalitas. Biarkan kasih jadi gaya hidup.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mulai dari hal kecil. Misalnya, saat ada konflik antar warga, jangan langsung menyalahkan. Coba jadi penengah. Atau saat ada perbedaan pendapat dalam pelayanan, jangan cepat marah. Coba cari titik temu. Kasih yang bersatu bukan berarti selalu setuju, tapi tetap saling menghargai meski berbeda. Seperti sawah yang ditanami berbagai jenis padi, semuanya tetap tumbuh bersama karena tanahnya subur oleh kasih.

Mari kita renungkan: apakah kita sudah hidup dalam kasih yang bersatu? Atau masih sibuk dengan urusan sendiri? Tuhan Yesus telah memberi teladan dengan merendahkan diri dan melayani. Ia tidak menuntut, tapi memberi. Ia tidak memaksa, tapi mengundang. Kalau kita mengaku sebagai pengikut-Nya, maka kasih yang bersatu bukan pilihan, tapi panggilan. Jangan tunggu orang lain mulai. Mulailah dari diri sendiri.

Akhirnya, mari kita jadikan kasih sebagai fondasi hidup bersama. Di ladang, di pasar, di gereja, di rumah—biarlah kasih itu nyata. Bukan sekadar slogan, tapi tindakan. Bukan sekadar program, tapi kebiasaan. Karena ketika kita bersatu dalam kasih, kita sedang membangun surga kecil di bumi. Dan itulah yang Tuhan rindukan dari umat-Nya.