Ibadah Kenaikan Tuhan Yesus Kristus

Kenaikan 3

“MENJADI SATU MELALUI KENAIKAN TUHAN”
Bacaan 1: Kisah Para Rasul 1:1-11
Tanggapan: Mazmur 47
Bacaan 2: Efesus 1:15-23
Injil: Lukas 24:44-53

Menghilang sekaligus mendekat. Mungkin ungkapan itu yang coba untuk kita pahami setiap kali kita menghayati peristiwa Kenaikan Tuhan Yesus. Ketika para murid ikut bersama dengan Yesus dalam pelayanan-Nya, mereka perlahan-lahan dikenalkan dengan misi Allah melalui Yesus di dunia ini. Melalui berbagai tanda, dan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat dijelaskan dengan logika, para murid mencoba untuk terus memahami, apa maksud dari semuanya ini?

Sampai pada saatnya di mana Yesus mencapai titik akhir dari perjalanan-Nya di dunia dalam persona-Nya sebagai manusia, para murid diundang untuk melihat kesatuan dari tubuh insani yang direngkuh dalam ke-Ilahi-an Yesus. Ia bangkit dengan tubuh manusia-Nya, tubuh yang ada luka di kaki, tangan dan lambung-Nya (Yoh.20:19-20). Demikian pula dengan kenaikan-Nya ke surga. Ia masuk ke surga dalam kemuliaan Bapa dalam segala aspek kemanusiaan-Nya. Yesus yang bangkit dan naik ke surga dengan tubuh jasmani-Nya. Dengan cara demikian, Ia menyatukan diri dengan manusia. Yesus naik ke surga membawa keberadaan insani-Nya. Inilah pesan kesatuan dalam peristiwa kenaikan Tuhan Yesus. Ia yang adalah Allah, berinkarnasi menjadi manusia dan melakukan segala hal bersama dengan manusia di dunia. Ia berjalan, mengajar, makan, berbincang, juga melakukan berbagai mukjizat dalam perjalanan-Nya. Namun dalam momen kenaikan-Nya ke surga, Ia kembali mempertegas identitas-Nya yang adalah Allah. Kesatuan ini juga diungkapkan dalam penggalan pengakuan iman Konsili Khalsedon 451 sebagai: “..dua Hakikat yang tidak bercampur, tidak berubah, tidak terbagi, tidak terpisah..”.

Kesatuan-Nya menyimbolkan makna penting bagi kehidupan ciptaan. Lukas menjelaskan dalam pasal 24:53, bahwa kenaikan-Nya ke surga tidak menimbulkan rasa kecewa “ditinggalkan” yang berkepanjangan, namun justru mentransformasi kehidupan para murid untuk dapat bersukacita atas apa yang mereka saksikan. Kesatuan pribadi Allah dan Yesus membuat keberadaan manusia menjadi mungkin untuk mengalami kesatuan dalam persekutuan dengan Allah. Manusia yang ada dalam persekutuan dengan Allah kemudian memiliki kesempatan untuk mempersaksikan Allah kepada dunia. Inilah yang dikatakan Yesus dalam Lukas 24:48 bahwa “Kamu adalah saksi dari semuanya ini.” Lebih lanjut, mereka bersama-sama ada dalam Bait Allah dan memuliakan Allah (ay.53).

Kenaikan Yesus memberi ketenangan bagi para murid bahwa Yesus-lah Allah yang berkuasa melampaui ruang dan waktu, Kenaikan-Nya sekaligus juga menjadi kekuatan bagi para murid untuk berjuang dalam karya kesaksian dan pelayanan mereka selanjutnya.

Penghayatan tentang Kristus yang mengutus para murid untuk menjadi saksi, pada akhirnya sungguh nyata dalam keberlanjutan pelayanan para murid. Tampak dalam bacaan pertama kita, ketika penulis Kisah Para Rasul, yaitu Lukas, menceritakan kepada Theofilus bagaimana pesan dan ajaran Yesus, sampai momen kenaikan-Nya. Kesaksian ini juga dihayati oleh Paulus dalam perjalanannya di Efesus. Dengan iman, Paulus menjelaskan hakikat Yesus yang duduk di sebelah kanan Allah. Pesan ini menunjukkan bagaimana pemahaman kesatuan antara pribadi Yesus dengan Allah dapat dimengerti oleh murid-murid-Nya, bahwa Yesuslah Mesias yang selama ini mereka tunggu. Yesus dalam Persekutuan Trinitaris berdaulat atas semesta.

Bahkan jauh sebelum para rasul menjalankan misi pelayanannya, pemazmur sudah merefleksikan perjalanan imannya Bersama dengan Allah. Pemazmur menyatakan imannya kepada Allah, bahwa Allah berkuasa atas semesta ini. Kedudukannya jauh melampaui segala raja yang ada di muka bumi. Oleh karena itu, pemazmur mengajak segala bangsa (ay.1) untuk bersatu menghayati kasih Allah dan mengaku bahwa Allah pemegang otoritas tertinggi atas semesta.

Bagi kita yang ada di masa kini, pesan persatuan itu juga menjadi bagian dalam kehidupan persekutuan kita. Kita memiliki panggilan yang sama, yaitu menjadi saksi. Panggilan ini tidak dapat kita jalani dengan sikap egosentris—mementingkan keinginan sendiri—namun perlu bertransformasi menjadi Theosentris—tunduk dalam kehendak Allah. Dalam persekutuan di keluarga, gereja, masyarakat, kita perlu mengembangkan diri, sekaligus senantiasa mengoreksi diri, untuk melahirkan sikap yang mencerminkan Kristus melalui diri kita. Melalui sikap tersebut, kita terus membarui diri dalam tuntunan Roh Kudus. Ketika persekutuan di keluarga mengalami gangguan terhadap kesatuannya, bagaimana kita dapat menghayati panggilan sebagai saksi? Ketika persekutuan kita dalam gereja mengalami persoalan yang mengancam kesatuan, bagaimana gereja dapat berkarya mempersaksikan Kristus? Ketika relasi kita dengan Allah mengalami keretakan karena berbagai peristiwa yang datang silih berganti, bagaimana kita dapat menjadi saksi-Nya yang siap untuk diutus?

Dengan demikian, kesatuan kita dalam persekutuan dengan Allah Trinitas menjadi dasar kekuatan yang tidak dapat disepelekan. Kita perlu terus berjuang untuk merespons panggilan Allah dalam persekutuan cinta-Nya. Nyatakanlah karya Roh Pembaru dalam kehidupan kita dengan bersatu dan berkarya senantiasa. Ia yang berdaulat akan terus menguatkanmu! Amin.