IBADAH SABTU SUNYI 2025

sabtu sunyi 4
Ibadah : Sabtu Sunyi
Hari, Tanggal : Sabtu, 19 April 2025
Jam : 18:00 WIB
Tema : MERESPON DUKA: TETAPLAH BERKARYA
Dilayani oleh : Pdt. Emanuel Suseno Aji, S.Th.

MERESPON DUKA: TETAPLAH BERKARYA

Matius 27:57-66

Yesus dikuburkan

27:57 Menjelang malam datanglah seorang kaya, orang Arimatea, yang bernama Yusuf dan yang telah menjadi murid Yesus juga. 27:58 Ia pergi menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus. Pilatus memerintahkan untuk menyerahkannya kepadanya. 27:59 Dan Yusufpun mengambil mayat itu, mengapaninya dengan kain lenan yang putih bersih, 27:60 lalu membaringkannya di dalam kuburnya yang baru, yang digalinya di dalam bukit batu, dan sesudah menggulingkan sebuah batu besar ke pintu kubur itu, pergilah ia. 27:61 Tetapi Maria Magdalena dan Maria yang lain tinggal di situ duduk di depan kubur itu.

Kubur Yesus dijaga

27:62 Keesokan harinya, yaitu sesudah hari persiapan, datanglah imam-imam kepala dan orang-orang Farisi bersama-sama menghadap Pilatus, 27:63 dan mereka berkata: “Tuan, kami ingat, bahwa si penyesat itu sewaktu hidup-Nya berkata: Sesudah tiga hari Aku akan bangkit. 27:64 Karena itu perintahkanlah untuk menjaga kubur itu sampai hari yang ketiga; jikalau tidak, murid-murid-Nya mungkin datang untuk mencuri Dia, lalu mengatakan kepada rakyat: Ia telah bangkit dari antara orang mati, sehingga penyesatan yang terakhir akan lebih buruk akibatnya dari pada yang pertama.” 27:65 Kata Pilatus kepada mereka: “Ini penjaga-penjaga bagimu, pergi dan jagalah kubur itu sebaik-baiknya.” 27:66 Maka pergilah mereka dan dengan bantuan penjaga-penjaga itu mereka memeterai kubur itu dan menjaganya.

Pernahkah Saudara mendengar sebuah teori yang disebut dengan “teori kecoak”? Sebuah teori yang diungkapkan oleh seseorang yang bernama Sundar Pichai. Siapakah Sundar Pichai? Seseorang yang pernah menjabat sebagai pimpinan perusahaan besar Google. Berikut kisahnya. Di sebuah restoran, tiba-tiba seekor kecoak terbang entah dari mana dan hinggap di tubuh seorang wanita. Wanita itu spontan berteriak karena ketakutan. Dengan wajah dilanda panik dan suara gemetar, dia melompat, kedua tangannya berusaha mati-matian untuk melepaskan diri dari kecoak tersebut. Reaksinya menyebar seperti api, menyebabkan semua orang di kelompoknya menjadi panik. Setelah berusaha keras, wanita tersebut berhasil mengusir kecoak tersebut. Kecoaknya terbang namun hinggap pada wanita lain dalam kelompok tersebut. Sekarang, giliran wanita kedua dalam kelompok itu yang melanjutkan drama tersebut. Dengan histeris ia juga berusaha melepaskan diri dari kecoak yang menghinggapinya. Seorang pelayan bergegas maju untuk menyelamatkan mereka. Si kecoak selanjutnya jatuh ke baju si pelayan. Pelayan itu berdiri dengan tenang, dan mengamati posisi kecoak di bajunya. Ketika dia sudah yakin, dengan cepat dia menangkap kecoak tersebut dengan jarinya dan melemparkannya keluar dari restoran. Tidak ada drama dan histeria. Mengapa seekor kecoak bisa membuat histeris dua orang wanita tapi tidak si pelayan? Si pelayan menanganinya dengan begitu tenang tanpa melakukan keributan apa pun.

Inilah “teori kecoak” Sundar Pichai. Sebenarnya yang menjadi masalah bukan kecoaknya, tapi ketidakmampuan dalam menangani gangguan yang ditimbulkan oleh kecoak itulah yang menghebohkan para wanita tersebut. Reaksi kita terhadap gangguan itulah yang penting untuk kita kontrol. Kita harus merespons dengan tenang agar situasi dan keadaan yang tidak menyenangkan dapat kita eliminir. Kecoak melambangkan masalah atau peristiwa yang tidak menyenangkan dalam hidup kita. Kadang-kadang ada kecoak yang hinggap di baju kita. Jika kita bertindak reaktif maka tanggapan yang muncul dari diri kita biasanya bersifat emosional seperti rasa marah, takut, jijik, dan sejenisnya. Reaksi ini mungkin kita ekspresikan dalam bentuk sikap dan tindakan yang justru menyakitkan, merusak atau merugikan diri kita sendiri atau orang lain. Dalam “teori kecoak”, respons kitalah yang menentukan keberhasilan kita dalam menangani apa pun masalah yang kita hadapi.

Umat Tuhan yang terkasih, bagaimana respons kita saat duka menghampiri kita? Mungkin, ada yang mempertanyakan kehadiran Tuhan dalam berbagai rumusan pertanyaan: Mengapa saya harus mengalami peristiwa ini, menerima dan menjalani ini semua. Mengapa harus saya, mengapa bukan dia, mengapa mesti kami, mengapa bukan mereka. Di manakah Allah, di manakah kuasa Allah, di manakah mukjizat Allah, mengapa Tuhan diam, apakah Tuhan telah meninggalkan kami semua?

Umat yang dikasihi Tuhan, apakah sebuah peristiwa duka dan derita hanya berakhir pada deretan pertanyaan-pertanyaan di atas? Apakah hanya itu yang dapat dilakukan oleh umat Tuhan dan selalu menjadi akhir dari sebuah pergumulan manusia soal duka dan derita? Tak adakah pilihan lain yang dapat dilakukan sebagai respons atas duka? Sabtu Sunyi atau Sabtu Suci, dimana aspek kedukaan sangat kuat, yang menjadi masa transisi antara kematian dan kebangkitan Yesus, memperlihatkan kepada kita bagaimana respons-respons yang muncul manakala penderitaan dan dukacita itu menghampiri manusia. Injil Matius memberi kesaksian, setidaknya ada 3 respons yang muncul.

Pertama, respons imam-imam kepala dan orang-orang Farisi. Mereka adalah kalangan atau kelompok yang memilih menutup diri dari karya Allah. Mereka menolak karya Allah. Mereka telah dibutakan oleh kepentingan mereka sendiri. Mereka berbuat semau mereka sendiri. Mereka tahu banyak tapi mereka tidak bijak. Mereka tidak belajar dari kesalahan, tapi malah menutup kesalahan dengan kesalahan yang lain. Mereka mencari pihak yang mungkin bisa disalahkan atau bisa dijadikan kambing hitam. Mereka terus merencanakan dan berbuat kejahatan demi kejahatan.

Yang kedua, adalah respons Para Perempuan, yaitu Maria Magdalena dan Maria yang lain. Mereka duduk di depan kubur Yesus. Tentu. Mereka meratap, mereka menangis. Ada perasaan campur aduk karena guru yang mereka cintai telah mati. Mungkin mereka mengalami kekecewaan mendalam bahkan mungkin kehilangan semangat hidup. Mereka adalah kalangan yang ada dalam jurang ketidakberdayaan, karena mereka terlalu larut dalam duka dan dikuasai serta dibutakan oleh perasaan-perasaan mereka sendiri.

Perasaan-perasaan yang justru membuat mereka kehilangan harapan, dan menghambat mereka untuk berani menghadapi realitas pahit getirnya roda kehidupan. Yang ketiga, adalah respons Yusuf orang Arimatea. Dukacita dan kematian yang ada di depannya, bukanlah halangan untuk terus menjalani kehidupan. Ia tak menjauh dari Tuhan, seperti para murid yang lain, ia tak meninggalkan Tuhan. Mungkin ia juga sedih, kecewa, dan berduka, namun ia tak mau larut dengan perasaannya. Ia tidak diam, ia tidak lari, tapi ia memilih untuk berani, berani menghadapi segala situasi, termasuk berani untuk menghadap Pilatus untuk meminta mayat Yesus. Ia bukan hanya berani, tapi juga memilih untuk tetap melayani, dan bukan sembarang melayani, tapi ia berikan pelayanan yang terbaik. Ia berikan kain lenan yang putih bersih. Ia juga gali kubur yang baru. Service yang terbaik tetap Ia lakukan kepada Tuhan, di tengah realitas derita dan duka yang ada di depan mata.

Umat yang dikasihi Tuhan.

Bagaimana dengan kita. Sabtu Sunyi menyuguhkan kepada kita hal yang sangat penting dalam menghadapi realitas derita dan duka yang menghampiri kehidupan kita. Derita dan duka adalah hal yang pasti kita akan hadapi, tak mungkin kita mengelak, tak mungkin kita tolak. Bagi penulis Ratapan maupun Pemazmur dalam Mazmur 31, derita dan sengsara tidak memupuskan harapan mereka. Mereka tidak tinggal diam atas pergumulannya. Karena itulah, sejatinya kadang kala kita tak perlu menuntut dan memaksa penjelasan atau jawaban dari Tuhan  atas pertanyaan “diamnya Tuhan” dan berbagai pertanyaan lain di sekitar duka. Sabtu Sunyi menyuguhkan kepada kita, bagaimana kita mesti merespons dan menyikapinya. Apakah, kita seperti kalangan yang pertama, seperti para Imam dan Farisi, yang malah menolak Allah, yang mencari kambing hitam, yang tidak mau belajar untuk menjadi lebih bijak di tengah situasi penderitaan dan dukacita yang terjadi? Apakah, kita seperti Maria Magdalena dan Maria yang lain, yang terus terkungkung perasaan sedih, kecewa, marah, dan segudang perasaan lain yang larut dan hanya menghalangi diri untuk menjadi pribadi yang punya harapan dan berani menghadapi segala situasi? Atau kita menjadi seperti Yusuf orang Arimatea yang tetap dekat dan terus setia mengiringi Tuhan. Menjalani hidup dengan berani berharap meski derita dan duka terjadi dan memilih tetap memberi dan melayani yang terbaik? Jika duka dan derita sedang menghampiri kita, apakah kita memilih tetap berharap? Tetaplah berharap dengan berani menghadapi dan menatap hari esok. Sebab di hari esok, Kristus adalah Sang Victor – pemenang dalam kebangkitan-Nya. Amin.